Rintik hujan di bulan Januari
terasa melengkapi suasana imlek di setiap sudut perumahan warga
keturunan yang turut merayakan budaya leluhur. Budaya yang telah di
rayakan secara turun temurun. Perayaan ini menjadi sebuah perayaan yang
dinanti bagi warga keturunan, tak perlu lagi merasa risih dan risau,
terutama setelah Gus Dur menjadikanya hari raya imlek sebagai libur dan
perayaan nasional negara Indonesia.
Di sebuah rumah petak, seorang wanita
tua bersama anak lelaki sekitar usia 8 tahunan, sibuk menata ember di
beberapa sudut rumah tersebut sebagai tadah bocor. Dialah Nenek Warti,
nama aslinya Lioe Chang Yi. bersama seorang cucunya Andi. Itulah yang
mereka lakukan jika musim penghujan tiba.
Warti, wanita ini telah bertahun-tahun
hanya hidup berdua dengan sang cucu. Dulunya ia memiliki seorang suami
yang juga seorang warga keturunan Tionghoa. Dulu ia juga kerap merayakan
imlek bersama keluarga kecilnya. Namun semenjak mendiang suaminya
meninggal akibat keberingasan masa dalam tragedi 1998, ia hanya
merayakan di sebuah vihara kecil di ujung gang. Bersama warga lainnya.
Selain suaminya, anak laki-lakinya pun turut menjadi korban dalam
tragedi berdarah tersebut. Sebuah tragedi yang sangat mencoreng bangsa
ini..!!! Ia telah kehilangan dua orang yang dicintainya secara
bersamaan. Dan ia, tak memiliki sanak saudara di negeri ini.
Kembali ia teringat kenangan masa lalu.
Dibakarnya toko yang mereka miliki, yang di rintis oleh mendiang suami
dari nol. Hancur lebur tak tersisa pagi itu, tinggal puing-puing bekas
pembakaran masa yang tersisa, bersama jasad suami dan anaknya di antara
asap hitam yang membubung. Dan TIDAK ADA yang BERTANGGUNG JAWAB. Ia
hanya sanggup berteriak histeris di antara hitamnya debu kala itu. Di
antara teriakan - teriakan kasar dari manusia yang tak memiliki hati
nurani.
Namun hidup harus terus berjalan. Ia
bersama anak perempuanya, Weni, yang kala itu masih berusi 15 tahun,
memulai lembaran baru di sebuah rumah petak nan sempit. Dan sembilan
tahun lalu, anak perempuanya menikah, namun sang putri harus rela di
tinggalkan orang yang ia cintai, kehidupan yang serba sulit, mungkin
itulah yang membuat suami dari Weni memilih pergi tanpa meninggalkan
pesan apapun. Hanya meninggalkan seorang anak laki - laki, dialah Andi,
cucu yang saat ini hidup bersamanya. Teman suka dan duka. Seorang anak
yang belum mengerti akan pahitnya hidup.
Kehidupan yang serba sulit, membuat anak
perempuanya yang telah menjanda memilih menjadi TKI di negeri tetangga
sekitar 3 tahun lalu. Tak pernah ia dengar kabar dari sang putri
semenjak ia pergi. Berharap ekonomi akan lebih baik, dengan mengadu
nasib di negeri tetangga, justru sebuah kabar duka yang ia terima
sekitar dua tahun lalu. Weni, sang putri, di kabarkan meninggal di
rumah sang majikan akibat sakit. Sayangnya permintaanya kepada
pemerintah untuk meminta jasad sang putri untuk di pulangkan tak di
dengar. Selalu ada saja alasan. Dan ia hanya bisa pasrah. Belajar
merelakan semuanya.
Rintik hujan mulai reda, nenek Warti dan
sang cucu terlihat lega. Tak lagi ia repot kebocoran. Atap rumah yang
sudah bolong di sana sini memang tak lagi layak, sayangnya ia tak mampu
berbuat banyak. Pekerjaan sehari - harinya sebagai tukang cuci, hanya
mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Seharusnya, setua itu
tidaklah lagi bekerja, hanya saja perut juga butuh makan. Dan untungnya,
masih ada orang yang mau memakai tenaga tuanya.
Kini keduanya duduk di sebuah sudut yang terbebas dari bocor. Wanita itu mengelus kepala sang cucu.
“Andai saja
kakek kamu masih ada. Andai saja tragedi itu tak pernah terjadi. Andai
saja toko itu masih selamat…. Mungkin kehidupan kita jauh lebih baik.
Tak perlu repot menadahi air hujan di kala bocor…” Wanita tua itu membatin.
“Kebanyakan
orang bilang. Orang Cina itu kaya. Mereka tak pernah melihat di ujung
gang nan sempit ini. Mereka tak pernah melihat. Di bantaran kali ini.
Bahkan kebanyakan keberadaaan kami tak di akui. KTP pun susah di
dapati”. Batinnya lagi.
Hari kian beranjak malam. Bau air kali di belakang rumahnya mulai menusuk hidung. Baginya, ini sudah menjadi hal biasa.
Andi sang cucu sudah tertidur pulas.
Wanita itu keluar rumah, menyalakan hio di sudut kanan rumah petaknya.
Sembahyang yang ia jalani secara rutin. Bukan… Bukan untuk meminta
kekayaan, ia hanya bersyukur kepada sang pemberi hidup, bahwa ia masih
di beri kesempatan menikmati hidup hingga detik ini.
Beberapa menit berlalu, ia kembali ke
dalam rumah. Duduk di samping Andi sang cucu yang telah terlelap . Ia
mengelus kepala bocah tersebut.
Sore tadi, sang cucu merengek kepadanya.
Minta dibelikan baju baru untuk perayaan imlek. Menurut tradisi, memang
pada hari imlek harus mengenakan baju baru. Tahun naga air, menurut
orang harus mengenakan baju berwarna terang, sebagai penyeimbang dari
sifat air.
Pasar malam di ujung jalan masih ramai,
wanita itu hendak ke sana sebentar, meninggalkan cucunya sendirian di
rumah. Ia beranjak menuju lemari tua, di sanalah ia menyimpan sedikit
uang yang di berikan sang majikan siang tadi sebagai THR menjelang hari
raya imlek.
Baru juga hendak membuka lemari yang
tanpa kunci, seseorang mengetuk pintu rumahnya yang sunyi. Mungkin saja
petugas vihara yang membagikan sembako menjelang hari raya. Pikirnya. Ia
beranjak menuju ke depan. Memutar anak kunci dan membuka pintunya.
Wanita ini mendadak pucat dan mundur selangkah melihat seseorang yang
tengah berdiri di depannya, dengan baju serba merah.
“Kaukah yang datang anakku???” Tanyanya gugup. Arwah sang anak menjenguk keluarganya menjelang imlek, mungkin saja.
Weni. Sang putri yang telah meninggal itu kini berdiri di hadapannya.
“Mama… ” Sang putri sontak memeluknya dengan isak tangis di bahunya.
“Maafkan Weni yang tak pernah memberikan kabar. Hingga di kabarkan meninggal…” Isaknya.
Wanita itu tak bisa menahan emosi.
Tangisnya tumpah. Bukankah kebenaran itu akan terlihat? Tuhan telah
mengembalikan anaknya dalam keadaan sehat.
***
“Setelah imlek… Mari kita coba membuka usaha warung makan mah….” Seru Weni dari dapur.
Ia kini tengah mempersiapkan makanan
yang beberapa tahun lamanya tak pernah mereka nikmati. Dan Imlek kali
ini akan menjadi imlek terindah bagi ketiganya. Sang mama hanya
tersenyum bahagia. Bukan. Bukan bahagia karena Weni pulang membawa
banyak uang. Ia bahagia, karena putrinya telah kembali bersamanya.
Bekumpul bersama. Dalam perayaan imlek yang sederhana.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar